Latihan Soal UTS Perekonomian Indonesia

1. Susunlah suatu essay (minimal 2 halaman) tentang implementasi kebijaksanaan pemerintah dalam perekonomian Indonesia yang Anda ketahui, dengan memerhatikan (merujuk) pada dampak Covid 19 terhadap:

a. Pertumbuhan PDRB sebagai akibat pandemic Covid 19.

Jawab.

Bencana virus covid 19 yang melanda dunia telah merubah tatanan berbagai aspek kehidupan manusia. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) sampai dengan bulan Maret Tahun 2021 jumlah korban terkonfirmasi positif covid-19 sebanyak 150 juta jiwa, dan yang terkonfirmasi korban meninggal adalah 3 juta  jiwa. Hal ini merupakan pandemi terparah yang pernah dialami oleh dunia di sepanjang masa. Tidak terkecuali di Indonesia, jumlah korban terkonfirmasi positif covid-19 adalah 1,6 juta jiwa dan yang meninggal sejumlah 45 ribu jiwa (berdasarkan data covid19.go.id).

Dampak pandemi covid-19 dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Tatanan kehidupan sekejap berubah drastis, dari mulai para pekerja yang bekerja dari rumah, para pelajar/mahasiswa yang belajar dari rumah, bahkan sampai dengan banyak ditutupnya pabrik-pabrik dan sektor lainnya. Perekonomian dunia maupun nasional pada kuartal I Tahun 2020 masih belum signifikan terdampak, namun pada kuartal II dan selanjutnya bisa dikatakan terjun bebas bahkan telah mengalami resesi, kondisi ini merupakan periode terburuk sejak Tahun 1999 bagi Indonesia. Hal ini dapat terlihat pada data International Monetary Fund (IMF)bahwa laju pertumbuhan ekonomi beberapa negara di dunia seperti Amerika Serikat pada kuartal IV Tahun 2020 adalah -2,4%, Korea Selatan adalah -1,4%, Jepang -1,2% dan Singapura -3,8%. Tidak terkecuali bagi Indonesia berdasarkan rilis data Badan

Pusat Statistik, bahwa laju pertumbuhan ekonomi nasional pada Tahun 2020 kuartal I adalah 2,97%, kuartal II adalah -5,32%, selanjutnya pada kuartal III adalah -3,49% dan kuarta IV adalah -2,19%. Adapun laju pertumbuan ekonomi nasional Tahun 2020 adalah -2,07%. Hanya Vietnam sebagai satu-satunya negara yang laju pertumbuhan ekonominya tidak terkontraksi, yaitu tumbuh 4,5% pada kuartal IV (Helena J. Purba, Eddy S. Yusuf, Erwidodo, 2020). Penurunan secara dalam perekonomian nasional pada kuartal II Tahun 2020 ini merupakan dampak dari adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai kota di Indonesia yaitu yang dimulai pada awal Bulan April Tahun 2020.

Sektor ekonomi nasional yang paling terdampak berdasarkan data Bank Indonesia Tahun 2020 adalah sektor pariwisata dan turunannya, sektor transportasi, sektor automotif, sektor manufaktur (sebagian), sektor konstruksi dan real estate, sektor oil dan gas, serta sektor keuangan. Namun ada juga sektorsektor ekonomi di masa pandemic covid-19 ini yang menerima manfaat yaitu sektor informasi dan komunikasi, jasa keuangan, pertanian, real estate, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan pengadaan air (Rafdi Setiawan, Gabriel Fiorentino Setiadin, 2020).

Hasil survey Badan Pusat Statistik tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia lebih dari 237 juta jiwa. Jumah penduduk Indonesia memiliki hubungan dengan pertumbuhan ekonomi dan angka pengangguran. Pada tahun 2007 jumlah penduudk Indonesia mencapai lebih dari 224 juta jiwa. Perihal tersebut berarti, jumlah penduduk 2007 jika dibandingkan dengan jumlah penduduk 2010 maka penduduk Indonesia dapat dikatakan mengalami kenaikan. Kenaikan jumlah penduduk dapat menimbulkan angka pengangguran juga mengalami kenaikan. Kenaikan angka pengangguran diakibatkan kenaikan jumlah penduduk yang tidak dapat diserap oleh lapangan pekerjaan yang tersedia. Faktor lain yang dapat menjadi angka pengangguran adalah kondisi lingkungan disebuah negara.

Dengan adanya wabah coronavirus ini menyebabkan kegiatan ekonomi menjadi melemah dan terhambat. Perusahaan banyak yang terus melakukan proses produksinya tetapi tidak dapat dibarengi dengan pemasukan atau pendapatan. Sehingga, perusahaan tidak dapat menanggung biaya beban gaji atau upah untuk setiap karyawan. Perusahaan, pada akhirnya memutuskan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada karyawan. Karyawan yang terkena PHK berasal dari sektor formal dan non formal.Pekerja sektor formal merupakan mereka yang berusaha dibantu buruh tetap, dan mereka yang menjadi buruh, karyawan, dan pegawai. Sedangkan pekerja sektor non formal adalah mereka yang berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas, dan pekerja tidak dibayar.

Pemutusan hubungan kerja tersebut berakibat kepada para karyawan, hingga para karyawan terkena dampak PHK yang harus kehilangan pekerjaannya dan dapat dikatakan pengangguran. Dikatakan pengangguran karena mereka mencari jalan keluar berupa pekerjaan lain sebagai alternatif dari pekerjaan sebelumnya. PHK yang dilakukan perusahaan kepada karyawan dilakukan untuk mengurangi jumlah beban yang ditanggung perusahaan saat kondisi pandemi. PHK dilakukan oleh beberapa perusahaan dan terhadap puluhan bahkan hingga ratusan karyawan atau pegawai.

Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), sejumlah 212.394 pekerja dari sektor formal terkena PHK, pekerja formal yang dirumahkansejumlah1.205.191 orang. Dari sektor nonformal, Kemenaker mencatat sekitar 282 ribu orang tidak memiliki penghasilan. Sementara itu, berdasarkan data BP Jamsostek, pekerja yang dirumahkan dan terkena PHK mencapai 454 ribu orang dari sektor formal, dan 537 ribu orang sektor non formal. Terlebih lagi jumlah pekerja di sektor informal di Indonesia lebih besar dibanding pekerja sektor formal, yakni mencapai 71,7 juta orang atau 56,7 persen dari total jumlah tenaga kerja. Mayoritas dari mereka bekerja pada usaha skala mikro sebesar 89 persen berdasarkan data di tahun 2018.Dari data tersebut, menjelaskan bahwa akibat pandemi COVID-19, beberapa sektor usaha melakukan PHK terhadap pekerjanya.

Para karyawan atau pegawai banyak yang kehilangan pekerjaan mereka di tengah kelambatan ekonomi saat pandemi. Sektor terbanyak yang melakukan tindakan PHK yaitu sektor informal yang mencapai angka 71,7 juta orang. Dikutip dari nasional.kontan.co.id jumlah karyawan yang terkena PHK dan dirumahkan sejumlah lebih dari 1,5 juta karyawan, dengan spesifikasi karyawan sektor formal lebih besar dari pada sektor informal, yaitu sejumlah 1,2 juta karyawan dari sektor formal dan 265.000 dari sektor informal.

Permasalahan pengangguran dapat diakibatkan oleh beberapa faktor, seperti adanya kasus PHK, menimbulkan kondisi ekonomi rumah tangga mengalami penurunan. Permasalahan pengangguran memang tergolong masalah yang kompleks, karena dapat dikaitkan dengan beberapa indikator. Salah satu yang menjadi indikator ekonomi yang mempengaruhi pengangguran adalah pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Apabila kondisi pertumbuhan ekonomi suatu negara mengalami kenaikan, maka diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap penurunan jumlah pengangguran. Tetapi, dalam kondisi lingkungan hidup yang dilanda wabah coronavirus ini, pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan. Artinya, bahwa apabila kondisi pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan, maka dapat berpengaruh terhadap jumlah pengangguran yang mengalami penurunan Pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh melambat sebesar 2,97% (year on year) yang terjadi pada kuartal I per tahun 2020. Jika dibandingkan dengan tahun 2019 pada kuartal empat di mana pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mengalami kenaikan hingga mencapai angka 5,02%.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan sebesar 2,41%. Dengan adanya penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi maka tingkat pengangguran di Indonesia juga mengalami kenaikan. Kenaikan jumlah pengangguran mengakibatkan defisit anggaran negara bertambah. Dilansir dari kontan.co.id bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020 mengalami peningkatan defisit hingga menjadi sebesar 6,27% dari produk domestik bruto (PDB). Angka pengangguran yang bertambah menimbulkan pengurangan pendapatan rumah tangga. Di mana konsumsi rumah tangga berkurang sehingga dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi.

 

b. Pertumbuhan usaha kecil dan menengah

Berdasarkan hasil survei Katadata Insight Center (KIC) yang dilakukan terhadap 206 pelaku UMKM di Jabodetabek, mayoritas UMKM sebesar 82,9% merasakan dampak negatif dari pandemi ini dan hanya 5,9% yang mengalami pertumbuhan positif. Kondisi Pandemi ini bahkan menyebabkan 63,9% dari UMKM yang terdampak mengalami penurunan omzet lebih dari 30%. Hanya 3,8% UMKM yang mengalami peningkatan omzet.

Survei KIC tersebut juga menunjukkan para UMKM melakukan sejumlah upaya untuk mempertahankan kondisi usahanya. Mereka melakukan sejumlah langkah efisiensi seperti: menurunkan produksi barang/jasa, mengurangi jam kerja dan jumlah karyawan dan saluran penjualan/ pemasaran. Meski begitu, ada juga UMKM yang mengambil langkah sebaliknya, yaitu menambah saluran pemasaran sebagai bagian strategi bertahan (Katadata.co.id, 2020).

Sementara itu, hasil survei 20 dari beberapa lembaga seperti BPS, Bappenas, dan World Bank menunjukkan bahwa pandemi ini menyebabkan banyak UMKM kesulitan melunasi pinjaman serta membayar tagihan listrik, gas, dan gaji karyawan. Bahkan beberapa di antaranya terpaksa sampai harus melakukan PHK. Kendala lain yang dialami UMKM, antara lain sulitnya memperoleh bahan baku, permodalan, pelanggan menurun, distribusi dan produksi terhambat. Selain itu, perubahan Perilaku Konsumen dan Peta Kompetisi Bisnis juga perlu diantisipasi oleh para pelaku usaha karena adanya pembatasan kegiatan. Konsumen lebih banyak melakukan aktivitas di rumah dengan memanfaatkan teknologi digital.

Sedangkan perubahan lanskap industri dan peta kompetisi baru ditandai dengan empat karateristik bisnis yaitu Hygiene, Low-Touch, Less Crowd, dan Low-Mobility (CNBC Indonesia, 28 April 2021). Dari kondisi tersebut, dapat terlihat bahwa sektor UMKM yang mayoritas pelakunya adalah warga kelas menengah ke bawah terdampak besar akibat pandemi Covid-19. Perusahaan yang sukses di era pandemi merupakan perusahaan yang dapat beradaptasi dengan empat karakteristik tersebut. Pelaku usaha ke termasuk UMKM perlu berinovasi dalam memproduksi barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan pasar. Para pelaku usaha ini juga dapat menumbuh-kembangkan berbagai gagasan dan ide usaha baru yang juga dapat berkontribusi sebagai pemecah persoalan sosial-ekonomi masyarakat akibat dampak pandemi. Namun, aktivitas bisnis dan prospek pertumbuhan sektor UMKM cenderung semakin membaik pada kuartal I/2021.

Pemulihan UMKM ini memberikan sinyal positif semakin pulihnya perekonomian nasional yang sempat tertekan akibat pandemi Covid-19. BRI Micro & SME Index (BMSI) terbaru mencatat adanya kenaikan signifikan dalam Indeks Aktivitas Bisnis (IAB), Indeks Ekspektasi Aktivitas Bisnis (IEAB), dan Indeks Sentimen Bisnis (ISB) per kuartal I tahun ini dibandingkan dengan kuartal IV/2020. Riset tersebut menunjukkan peningkatan BMSI menjadi 93,0 dari sebelumnya 81,5 pada kuartal IV/2020. Selain itu, pelaku UMKM juga makin optimistis terhadap prospek usahanya yang ditunjukkan dengan meningkatnya indeks ekspektasi BMSI menjadi 128,0 dari sebelumnya 105,4 pada kuartal IV/2020.

Sejalan kenaikan BMSI dan ekspektasinya, persepsi pelaku UMKM juga meningkat terhadap perekonomian secara umum. ISB pelaku UMKM meningkat signifikan menjadi 115,5 dari sebelum nya 90,2 pada kuartal IV/2020. Kenaikan IAB, IEAB, dan ISB menunjukkan mulai berputarnya aktivitas UMKM di lapangan, tingginya optimisme mereka atas kondisi yang lebih baik (Bisnis Indonesia, 17 Mei 2021). Optimisme yang tercermin melalui hasil riset tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, meningkatnya aktivitas masyarakat karena angka infeksi baru dan kasus aktif Covid-19 terus turun ditengah makin meluasnya program vaksinasi. Kedua, naiknya produksi barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang disebabkan oleh hari besar seperti Imlek dan hari raya Idul Fitri. Ketiga, panen raya di sejumlah daerah yang mendorong kenaikan harga komoditas. Keempat, relaksasi dari pemerintah kepada pengusaha sektor properti dan relaksasi pembelian rumah baru.

Solusi dan Tantangan Pemulihan UMKM Salah satu solusi penting pemulihan UMKM adalah insentif bagi UMKM melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pemerintah pusat di 2020 dan dilanjutkan di 2021. Hasilnya adalah sebagian sektor informal dan UMKM dapat bertahan menghadapi dampak pandemi Covid-19. Artinya tidak mengalami krisis yang sangat berat dibandingkan beberapa industri besar. Selain itu, program ini diharapkan dapat membantu menekan penurunan pemutusan hak kerja (PHK) pada UMKM. Pasalnya, berdasarkan data BPS per Agustus 2020, terdapat penciptaan kesempatan kerja baru dengan penambahan 760 ribu orang yang membuka usaha dan kenaikan 4,55 juta buruh informal (CNBC Indonesia, 28 April 2021). Dari total anggaran sebesar Rp699,43 triliun hingga 11 Mei 2021 realisasi program pemulihan ekonomi nasional (PEN) telah mencapai Rp172,35 triliun. Realisasi anggaran sebesar 24,6% dari total anggaran tersebut meningkat Rp49,01 triliun dari realisasi triwulan I, yakni Rp123,26 triliun.

Adapun sektor-sektor tersebut, yakni kesehatan sebesar Rp24,90 triliun atau 14,2% dari pagu Rp175,22 triliun, perlindungan sosial terserap Rp56,79 triliun atau 37,8% dari pagu Rp150,28 triliun, program prioritas Rp21,8 triliun atau 17,6% dari pagu Rp123,67 triliun, dukungan UMKM dan korporasi Rp42,03 triliun atau 21,7% dari pagu Rp193,53 triliun, dan insentif usaha Rp26,83 triliun atau 47,3% dari pagu Rp56,72 triliun. Di sisi lain, percepatan penyaluran perlindungan sosial 21 pemerintah juga tampak dari besarnya serapan anggaran itu.

Dalam penyaluran dana PEN atau dukungan UMKM secara khususnya, pemerintah harus memastikan bahwa dana dukungan dapat disalurkan secara cepat dan tepat sasaran. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah kurang terintegrasinya data UMKM yang ada. Selain itu, skema dukungan UMKM melalui subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR) juga perlu mendapat perhatian lebih mengingat masih banyaknya UMKM yang masih belum tersentuh layanan perbankan. Hingga 11 Mei 2021 tercatat realisasi penyaluran bantuan untuk Program Keluarga Harapan (PKH) Rp13,83 triliun atau 48,19% dari anggaran Rp28,71 triliun. Lalu, realisasi kartu sembako mencapai Rp17,24 triliun atau 38,20% dari anggaran Rp45,12 triliun.

Kemudian, realisasi penyaluran bantuan sosial tunai (BST) mencapai Rp11,81 triliun atau 98,39% dari anggaran Rp12,0 triliun dan program bantuan langsung tunai (BLT) dana desa mencapai Rp2,51 triliun atau 17,41% dari anggaran Rp14,4 triliun (Media Indonesia, 18 Mei 2021). Sedangkan, khusus untuk program Dukungan UMKM telah terealisasi sebesar Rp40,23 triliun atau 20,8% dari pagu sebesar Rp191,13 triliun. Realisasi untuk program Banpres Produktif Usaha Mikro (BPUM) sebesar Rp12,8 triliun atau sebesar 88,11% dari pagu yang mencapai 15,36 triliun (Kemenkeu, 6 Mei 2021). Pemerintah juga terus berupaya mendorong para pelaku UMKM untuk on board ke platform digital melalui Program Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI), dimana hingga akhir 2020 sudah terdapat 11,7 juta UMKM on boarding.

Pada 2030 targetnya jumlah UMKM yang go digital akan mencapai 30 juta. Perluasan ekspor produk Indonesia bagi UMKM juga dilakukan melalui ASEAN Online Sale Day (AOSD) di 2020. Dari 64,19 juta UMKM di Indonesia, sebanyak 64,13 juta masih merupakan UMK yang masih berada di sektor informal sehingga perlu didorong untuk bertransformasi ke sektor formal (CNBC Indonesia, 28 April 2021). Dorongan UMKM untuk memanfaatkan platform digital sangat dibutuhkan apalagi pada kondisi pandemi saat ini. Pemanfaatan platform digital dapat meningkatkan efisiensi serta menambah saluran penjualan/ pemasaran sektor UMKM yang saat ini terbatas akses fisiknya dengan pelanggan/pengguna jasa. Percepatan vaksinasi juga didorong untuk memulihkan kepercayaan konsumsi masyarakat termasuk bagi karyawan dan pelaku UMKM di seluruh Indonesia. Vaksinasi sudah dan akan diberikan secara gratis untuk mencapai herd immunity dari 181,55 juta penduduk (kemenkeu.go.id, 6 Mei 2021). Namun program Vaksinasi Gotong Royong pendanaannya dibebankan pada badan hukum atau badan usaha yang mampu.

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) No. HK 01. 07/ Menkes/4643/2021 tentang Penetapan Besaran Harga Pembelian Vaksin Produksi Sinopharm, pemerintah menetapkan harga vaksin senilai Rp321.660 per dosis, ditambah biaya penyuntikan Rp117.910 sehingga total harga menjadi Rp879.140 per dua kali suntikan. Namun, asosiasi UMKM menyatakan bahwa kemampuan perusahaan UMKM untuk mengikuti program Vaksinasi Gotong Royong jauh di bawah nominal yang ditetapkan oleh Pemerintah dan 22 menganggap harga yang ditetapkan oleh pemerintah terlalu mahal (Bisnis Indonesia, 17 Mei 2021).

Hal tersebut berpotensi membuat banyak perusahaan terutama UMKM enggan mengikuti program sehingga percepatan pelaksanaan vaksinasi terkendala. Sehubungan masalah ini, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk memberikan subsidi khusus untuk program Vaksinasi Gotong Royong bagi badan usaha yang memang tak mampu. Selain itu, pemerintah akan mendukung sektor Hotel, Restoran, Kafe (HOREKA) melalui restrukturisasi kredit dan penjaminan kredit. Kemudian, relaksasi Kebijakan Restrukturisasi Kredit Perbankan, perluasan Penjaminan Kredit Korporasi berdasarkan PMK32/2021, subsidi bunga untuk UMK, baik KUR dan Non KUR, serta penambahan plafon KUR 2021 dari sebesar Rp253 triliun menjadi Rp285 triliun, mengoptimalkan pemanfaatan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) serta melanjutkan Program Kartu Prakerja (Kemenkeu, 6 Mei 2021).

Rencana pemerintah dalam membentuk holding BUMN ultra mikro pada semester II tahun ini juga dianggap dapat mendorong pemberdayaan UMKM. Pembentukan holding BUMN ultra mikro dibutuhkan untuk menyinergikan gerak ketiga perusahaan yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., PT Pegadaian (Persero), dan PT Permodalan Nasional Madani (Persero). Tanpa holding, gerak tiga perusahaan negara ini dalam mengembangkan pelaku UMKM dan usaha mikro berjalan sendiri-sendiri (Beritasatu, 7 Mei 2021). Pembentukan holding BUMN ultra mikro diharapkan dapat memastikan terciptanya penyaluran pembiayaan kredit mikro yang lebih terarah, dengan bunga lebih rendah, serta mudah dan mampu menjangkau banyak calon nasabah. Manfaat yang diharapkan tersebut akan dapat mendukung pelaku UMKM untuk mendapatkan pasar dan peluang pemasaran yang lebih luas dari sebelumnya. Dengan adanya holding BUMN ini juga diharapkan dapat mengatasi masalah data UMKM yang saat ini masih belum terintegrasi.

 

c. Surplus/defisit Neraca Perdagangan (Expor/impor) sebagai akibat turunnya permintaan agregat  (dampak Covid 19 secara global)

Bank Indonesia (BI) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada April 2020 mengalami defisit USD 344,7 juta, setelah pada bulan sebelumnya surplus USD 715,7. perkembangan ini dipengaruhi melambatnya permintaan dunia, terganggunya rantai penawaran global, serta rendahnya harga komoditas sejalan dengan dampak pandemi COVID-19 yang merebak ke seluruh dunia.

Meskipun defisit, secara keseluruhan neraca perdagangan Indonesia Januari-April 2020 tetap surplus USD 2,25 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama tahun sebelumnya yang mengalami defisit USD 2,35 miliar. Ke depan, Bank Indonesia terus mencermati dinamika penyebaran COVID-19 dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia, termasuk neraca perdagangan, serta terus memperkuat sinergi kebijakan dengan Pemerintah dan otoritas terkait untuk meningkatkan ketahanan eksternal.

Adapun defisit neraca perdagangan April 2020 dipengaruhi defisit pada neraca perdagangan nonmigas dan migas. Neraca perdagangan nonmigas defisit USD 100,9 juta pada April 2020, menurun dibandingkan dengan capaian bulan sebelumnya surplus USD 1,67 miliar. Perkembangan tersebut akibat penurunan kinerja ekspor produk manufaktur dan bahan bakar mineral, khususnya batu bara. Kinerja positif ekspor emas, besi dan baja, serta minyak dan lemak nabati dapat menahan penurunan ekspor nonmigas yang lebih dalam. Sementara itu, neraca perdagangan migas pada April 2020 defisit USD 243,8 juta, lebih rendah dari defisit pada bulan sebelumnya sebesar USD 953,3 juta. Penurunan defisit ini terutama dipengaruhi oleh penurunan impor migas sejalan dengan penurunan harga migas. 

Upaya pemerintah tidak hanya ingin melindungi kesehatan masyarakat sebagai prioritas utama, namun juga dari sisi ekonomi diharapkan dapat distimulus agar kesejahteraan masyarakat tidak terlalu dalam dampak penurunannya. Tahun 2020 ditutup dengan beberapa catatan penting sebagaimana yang telah disampaikan Badan Pusat Statistik dalam rilisnya yang memuat berita resmi tentang pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan pengangguran. Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi selama tahun 2020 mengalami penurunan sebesar 2,07 persen dibandingkan tahun 2019.

Sejalan dengan ekonomi yang menurun, peningkatan terjadi pada indikator pengangguran dan kemiskinan. Tahun 2020 periode Agustus tercatat pengangguran Indonesia mencapai 7,07 persen, meningkat 1,84 persen poin dibandingkan Agustus 2019. Kemiskinan juga tak luput dari dampak hantaman pandemi. Pemerintah telah berupaya menghambat laju kemiskinan dengan memberikan stimulus bantuan kepada masyarakat melalui program yang dikenal dengan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Namun laju kemiskinan akibat pandemi ternyata lebih besar dari pada upaya pemerintah untuk meredamnya, sehingga tahun 2020 Badan Pusat Statistik mencatat terdapat sekitar 27,55 juta penduduk miskin atau setara dengan 10,19 persen penduduk Indonesia. Kemiskinan September 2020 mengalami peningkatan sekitar 0,97 persen poin dibanding September 2019. Kondisi perekonomian Indonesia yang terpuruk selain tergambar pada pertumbuhan ekonomi yang negatif, juga dapat dilihat dari kondisi neraca perdagangan Indonesia saat itu. Posisi neraca perdagangan pada setidaknya dua tahun sebelum pandemi berada pada kondisi net impor, artinya besaran nilai impor lebih besar daripada ekspor.

Memasuki tahun 2020, Indonesia menghasilkan kinerja ekspor yang lebih besar daripada besaran impor yang dilakukan sehingga menempatkan neraca perdagangannya mengalami posisi surplus pada waktu itu. Ekspor Indonesia 2020 mencapai 163 juta US$ dan impor mencapai lebih dari 141 juta US$. Terlepas dari permasalahan pandemi, pemerintah sebetulnya memang sangat menginginkan perekonomian nasional mengurangi ketergantungan terhadap produk impor. Kondisi neraca perdagangan yang berada pada posisi surplus ini memberikan informasi bahwa terdapat pengurangan nilai impor yang sangat besar sehingga dapat membalik arah neraca perdagangan yang pada sebelumnya tahun 2019 masih mengalami net impor.

Lebih dari 70 persen impor Indonesia didominasi oleh bahan baku/penolong untuk kegiatan memproduksi suatu barang lainnya. Selanjutnya, porsi terbesar kedua impor Indonesia setelah bahan baku adalah barang modal yang juga digunakan pada kegiatan ekonomi. Porsi barang modal mengambil peran lebih dari 15 persen pada komposisi impor Indonesia. Pada tahun 2020, kedua jenis barang konsumsi ini mengalami penurunan yang sangat besar. Sisanya merupakan barang impor yang digunakan untuk kebutuhan konsumsi. Melihat proporsi struktur barang-barang impor ini, dapat tercermin bahwa kondisi perekonomian di tahun 2020 memang sedang lesu dan mengalami penurunan. Bahan baku dan barang modal yang dapat digunakan sebagai mesin produksi kegiatan ekonomi yang mengalami penurunan menjadi indikasi bahwa kegiatan produksi pada tahun tersebut memang tengah mengalami pelemahan. Jadi, penurunan nilai impor yang besar juga perlu diwaspadai sebagai indikasi atas lesunya perekonomian saat itu. Memasuki awal tahun 2021, Indonesia masih berada pada posisi net ekspor. Badan Pusat Statistik mencatat pada bulan Januari dan Februari 2021 terjadi lagi net ekspor masing-masing 1,96 juta US$ dan 2 juta US$. Ekspor masih mengalami peningkatan dibandingkan Januari-Februari 2020, namun impor juga mengalami penurunan utamanya di bahan baku dan barang modal. Kondisi ekonomi tahun 2021 selanjutnya diharapkan dapat membalik arah mesin ekonomi Indonesia yang tadinya menghasilkan kelesuan ekonomi menuju ke arah pertumbuhan ekonomi yang positif dengan berbekal pembelajaran ekonomi yang sudah ditakar di tahun 2020 dengan ekspor yang masih tumbuh positif.

2. Dalam perekonomian suatu Negara diketahui hal-hal sebagai berikut:

Fungsi Konsumsi C = 1.822,31 t + 0,835 Yd

Fungsi Impor M = 941,31 t + 0,038 y

Fungsi Pajak (PPh) Tx= 0,30 y

Ekspor 1.428,62 t ; Anggaran Belanja 1731,12 t

Subsidi 136,14 t ; Investasi 988,82 t

Atas dasar tersebut Anda diminta:


b. Surplus/defisit APBN & Neraca Pembayaran Internasional.

Posisi APBN

 Jika Tx = 3.402,3617892

         G = 1731,12

Tr = 136,14

 Maka surplus/defisit APBN = Tx - (G + Tr)

 Surplus/defisit                      = 3.402,3617892 - (1731,12 + 136,14)

= 3.402,3617892 – 1.867,26

= 1.535,1017892 (Surplus)

Posisi NPI

M = 941,31 + 0,038y

M = 941,31 t + 0,038 (11.341,205954) = 430,96582325

sehingga surplus/defisit

NPI  = X - M

         = 1.428,62 – 430.96582325

=977,65417675 (Surplus)

 

c. Apabila subsidi diturunkan 30% untuk menambah anggaran belanja, bagaimanakah dampak terhadap APBN, NPI, tabungan dan konsumsi masyarakat?

Fungsi Konsumsi C   = 1.822,31 t + 0,835 Yd

Fungsi Impor  M =    941,31 t + 0,038 y

Fungsi Pajak (PPh) Tx =     0,30 y

Ekspor       = 1.428,62 t

Anggaran Belanja           = 1731,12 t

Subsidi 136,14 t x 30% =  40,842.(95,298)

Investasi       =  988,82 t


d. Dengan  mengubah tarif pajak menjadi 35%, bagaimanakah posisi APBN tersebut?

Pajak = Tx = hy = 0,35 (11.341,295954) = 3.969,4535839

  sehingga yd  = y + Tr - Tx           

yd = 11.341,295954 + 136,14 – 3.969,4535839 

       yd = 7.507,9823701

 

  C = a + b yd

C = 1.822,31+ 0,835 (11.341,295954)

C = 11.229,420599

  S = yd - C

S = 7.507,9823701 – 11.229,420599 

S = - 3.721,438229 (Saving negative)

 

   Posisi APBN

   Jika Tx = 3.969,4535839

           G = 1731,12

Tr = 136,14

   Maka surplus/defisit APBN = Tx - (G + Tr)

   Surplus/defisit                       = 3.969,4535839 - (1731,12 + 136,14)

= 3.969,4535839 – 1.867,26

       = 2.102,1935839  (Surplus)

Related

Evaluasi 2690682626553489050

Posting Komentar

Follow us !

Blogger news

Trending

Label

item