Meramu Hasil Belajar Pendidikan Yang Memerdekakan
KHD menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itu, pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak.
Filosofi Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan dan kebudayaan, tentunya yang sesuai dengan pendidikan di Indonesia diantaranya adalah sistem among, yaitu metode pengajaran yang berjiwa kekeluargaan yang berdasar kodrat alam dan kemerdekaan.Guru sebagai “Pamong” atau “Pemomong” atau “Panutan” bagi siswanya sehingga siswa merasa dilindungi, aman, dan mempunyai panutan untuk dicontoh. Dalam hal ini interaksi dengan siswa, guru dan warga sekolah sangat baik apabila guru benar-benar sebagai “Pemomong”, karena sifat ini memberikan rasa aman, nyaman sehingga siswa senang belajar. Misalnya dalam sekolah atau kelas mengucapkan salam kepada semua siswa sebelum dan setelah pembelajaran. Selain itu juga hal positif yang dapat dilakukan adalah berdoa sebelum dan sesudah belajar serta budaya salaman. Alhamdulillah pada masa pandemi diganti dengan “Namaste” yaitu mengatupkan kedua tangan di depan dada, kini salaman sudah dapat dibudayakan lagi kepada sesama siswa, guru, kepala sekolah, warga sekolah, bahkan dengan siapapun apabila bertemu.
Setiap individu dikarunia bakat dan minat yang berbeda, karena itu setiap individu dalam negara merdeka harus merdeka mengejar mimpi indah mereka tentang masa depan yang mereka cita-citakan. Setiap individu di negeri ini wajib berkontribusi dalam pembangunan bangsa melalui maksimalisasi talenta dan bakat mereka.
Merdeka belajar adalah jembatan emas yang menghantarkan setiap individu untuk memberikan yang terbaik untuk bangsa dan negara dengan riang gembira. Merdeka untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari kemiskinan, dan keterbelakangan
Permainan Anak Adalah Pendidikan
Dalam Taman Siswa diadakan kelompok Taman Anak, yang di HIS sama dengan Voorklas, Kelas 1, II dan III. Sementara, kelompok yang kedua dinamakan Lagere School (Taman Muda), yaitu mulai kelas 4 sampai 7 jika menurut aturan HIS. Kedua kelompok tersebut mempunyai ketua sendiri-sendiri,. Metode pengajaran yang digunakan pada keduanya juga berdea. Umpanyanya, pengajar di Taman Anak semunya adlaah guru wanita (sontrang/mentrik). Sebab, rasa batin anak kecil (kecintaan, tasa takut, bangga, manja) masih tertuju kepada Ibunya sehingga anak-anak tersebut masih sehati dengan pendidik wanita. Adapun pada HIS kelas yang tinggi, anak-anak kebanyakan sudah berlagak seperti laki-laki dewasa dan suka bergaul dengan bapaknya. Oleh karena itu, mereka harus dididik oleh guru laki-laki.
Selain itu, mata pelajaran di Taman Anak tersebut dikonsentrasikan pada pelajaran Latihan panca indra. Sebab, mendidik anak kecil itu bukan atau belum memberikan pengetahuan, akan tetapi baru berusaha akan menyempurnakan rasa pikiran. Segala tenaga dan tingkah laku lahir yang mereka miliki sebenarnya besar pengaruhnya bagi kehidupan batin mereka dan demikian pula sebaliknya. Jalan perantaraan Pendidikan lahir ke dalam batinnya tesebut adlaah melalui paca indra. Maka dari tiu, Latihan paca indra adalah pekerjaan lahir untuk mendidik batin (pikiran, rasa, kemauan, nafsu dan lain-lain) Di Eropa, metode pengajaran seperti itu juga diakui. Orang yang pertama mendidik anak dnegna cara demikian ialah sang pujangga pendidik, Dr. Ki Hadjar Dewantara Frobel.
Selain itu, juga ada sang pujangg wanita, yakni Dr. Maria Montessori di kota Roma (Italia). Metode Frobel dan Montessori in mempunyai perbedaan yang cukup besar, tetapi ini yang dimiliki sebenarnya sama, yaitu mencari jalan lahir untuk mendidik batin. Mari kita Kembali ke pembahasan tentang ‘Taman Anak’ di Yogyakarta. Dalam proses pembelajarannya, ternyata tidak hanya mengkonsentrasikan pada pelajaran (latihan) panca indra saja, tetapi permainan anak juga dimasukkan pada pembelajaran di sekolah sebagai kultur.
Tentang permainan anak sebagai alat pendidikan dan juga tentang asas-asasnya ‘Taman Anak’ dalam Taman Siswa yang disesuaikan dengan metode Montessori dan Frobel tersebut bertujuan agar kaum pendidik dan ibu-ibu dapat mengadakan metode sendiri yang selaras dengan kehidupan bangsa
Dalam Azas Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara menjelaskan pendidikan yang berhamba pada anak yakni membebaskan anak dari segala ikatan, dengan suci mendekati anak bukan meminta sesuatu hak melainkan berhamba pada sang anak. Maksudnya, seorang pendidik hendaknya mendidik dengan tulus ikhlas dan sepenuh hati tanpa mengharapkan imbalan Sistem pendidikan yang berpihak pada anak ini menekankan pada minat, kebutuhan, dan kemampuan dengan melakukan pendekatan dengan didasari cinta kasih.
Menurut KHD, budi pekerti, atau watak atau karakter merupakan perpaduan antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Budi pekerti juga dapat diartikan sebagai perpaduan antara Cipta (kognitif), Karsa (afektif) sehingga menciptakan Karya (psikomotor).
Teori tabula rasa mengemukakan bahwa seorang anak yang baru lahir dapat diumpamakan ibarat selembar kertas putih yang kosong (a sheet ot white paper avoid of all characters). Sejak lahir, anak tersebut sama sekali tidak mempunyai bakat dan pembawaan. Seorang anak dapat dibentuk sekehendak kekuatan pendidiknya. Pendidikan dan lingkungan paling berkuasa atas pembentukan anak tersebut.
Teori pemikiran tabula rasa yang diungkapkan oleh John Locke tersebut dapat disebut juga empirisme. Empirisme merupakan suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa segala kecakapan dan pengetahuan seorang manusia muncul dari sebuah pengalaman (empiri) yang masuk melalui alat inderanya.
John Locke merupakan seorang filsuf yang berasal dari Inggris dengan paham empirisme yang cukup terkenal. John Locke lahir pada tanggal 29 Agustus 1632 di Wrington Inggris dan meninggal dunia pada tanggal 28 Oktober 1704.
John Locke mengatakan, “Tabula rasa mengatakan bahwa manusia yang baru dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih yang belum ditulisi (a sheet ot white paper avoid of all characters).” Dengan demikian, sejak lahir seorang anak manusia tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa.
Behaviorisme berpendapat bahwa semua pendidikan merupakan proses pembentukan kebiasaan. Proses pembentukan kebiasaan yang dimaksud adalah menurut kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di dalam sebuah lingkungan seorang anak.
Dari sekian banyaknya faktor lingkungan dan berbagai pengaruhnya pada terbentuk atau terbunuhnya karakter seorang anak sejak dini yang dapat kita sadari, terdapat beberapa hal yang sebenarnya sering kita anggap sebagai sebuah proses pembentukan anak, ternyata dapat membunuh karakter anak itu sendri.
Berikut ini beberapa hal yang seringkali tidak kita sadari dapat membunuh karakter anak sejak dini, diantaranya:
Pertama, abai dan acuh terhadap pertanyaan anak. Ketika seorang anak bertanya artinya karena mereka ingin mengetahui sesuatu. Dalam proses ini, anak sangat memerlukan respon yang positif dari orang-orang di sekitarnya dengan memberikan respon terhadap apa yang ingin diketahuinya.
Kedua, mematahkan imajinasi anak. Pada masa golden age anak sangat suka berimajinasi. Imajinasi inilah yang merupakan sesuatu yang berkembang pada alam bawah sadar pada otaknya. Ketika seorang anak berimajinasi, saat itulah ia akan mengajak orang-orang di sekitarnya untuk menjadi lawan mainnya. Orang tua biasanya yang akan dijadikan objek bagi anak untuk mengungkapkan apa saja yang ada di dalam pikirannya. Maka saat itulah, ia mengungkapkan apa saja yang sedang ia imajinasikan.
Ketiga, menganggap anak tidak tahu apa-apa. Hal ini berbeda dengan teori tabula rasa. Pemikiran yang mengungkapkan bahwa seorang anak lahir tanpa memiliki kecerdasan apa-apa tidak selalu benar. Menurut teori kognitif dari Piaget, seorang anak memiliki kecerdasan bawaan sebagai keturunan dari orang tuanya. Berdasarkan berbagai penelitian, kecerdasan seorang ibu berpengaruh sebanyak 80% terhadap kecerdasan anak mereka.
KHD menjelaskan bahwa dasar Pendidikan anak berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan “sifat” dan “bentuk” lingkungan di mana anak berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan “isi” dan “irama”
Kita tidak dapat membandingkan metode Frobel, Montessori dan Taman Siswa tentang pengaruh tenaga lahir pada batin seperti berikut: a. Montessori mementingkan pelajaran panca indra, hingga ujung jari pun dihidupkan rasanya, menghadirkan beberapa alat untuk latihan panca indra dan semua itu bersifat pelajaran. Anak diberi kemerdekaan dengan luas, tetapi permainan tidak dipentingkan.
b. Frobel juga mendjaikan panca indra sebagai konsentrasi pembelajarannya, tetapi yang diutamakan adlah permainan anakanak, kegembiraan anak, sehingga pelajaran panca indra juga diwujudkan mengjadi barang-barang yang menyenangkan anak. Namun, dalam proses pembelajarannya anak masih diperintah.
c. Taman Siswa bisa dikatakan memakai kedua metode tersebut, akan tetapi pelajaran paca indra dan permainan aka itu tidak dipisah, yaitu dianggap satu. Sebab, salam Taman Siswa terdapat kepercayaan bahwa dalam segala tingkah laku dan segala kehidupan anak-anak tersebut sudah diisi Sang Maha Among (Pemelihara) dengan segala alat-alat yang bersifat mendidik si anak.
Beberapa contoh dapat disebutkan, misal Beberapa contoh dapat disebutkan, misalnya permainan anak Jawa seperti: sumbar, gateng, dan unclang ang mendidik anak agar saksama (titi paritis), cekatan, menjernihkan penglihatan dan lain-lain. Kemudian juga permainan seperti: dakon, cublak-cubak suweng dan kubuk yang mendidik anak tentang pengertian perhitungan dan perkiraan (taksiran). selain itu, permainan gobag, trembung, raton, cu, geritan, obrog, panahan si, jamuran, jelungan, dan lain-lain.nya yang bersifat olahraga yang tentunya akan mendidik anak dalam hal: kekuatan dan kesehatan badan, kecekatan dan keberanian, ketajaman dalam penglihatan dan lain-lain ada juga permaianan seperti: mengutas bunga (ngronce), menyulam daun pisang atau janur, atau membuat tikar, dan pekerjaan anak lainna yang dapat menjadikan mereka memiliki sikanp tertib dan teratur.
Melihat kondisi anak kita sendiri seperti yang dtelah dijelaskan diatas, sudah barang tentu bahwa kita bangsa Indonesia juga memiliki sejenis metode Montessori dan metode Froble yaitu Metode Kodrat Iradat (Natur dan Evolusi). Bisa juga dinamakan metode Kaki Among Nini Among, yaitu metode Among Siswa. Dengan demikian, sangat jelas bahwa kita tidak perlu mengadakan barang tiruan jika memang kitas dudah mempunyai barang tersebtu sendiri. Sebagab, barang tiruan tidak akan dapat menyamai barang yang munri seperti kepunyaan sendiri. Kain cap meskipun indah rupanya, tetapi derajatnya dibawah kain batik. Yang boleh kita pakai sebagai alat penghidupan yaitu barang-barang yang tidak kita miliki. Namun, waspadalah, carilah barang-barang yang bermanfaat untuk kita, yang dapat menambah kekayaan kita dalam hal kultur lahir atau batin. Jangan hanya meniru. Hendaknya barang baru tersebut dilaraskan lebih dahulu. Maksdunya, disesuaikan dengan rasa kita dan keadaan hidup kita. Inilah yang dinamakan “menasionalisasikan”.
Penjelasan singkat tentang permainan anak sebagai alat pendidikan dan juga tentang asas-asasnya ‘Taman Anak’ dalam Taman Siswa yang disesuaikan dengan metode Montessori dan Frobel tersebut bertujuan agar kaum pendidik dan ibu-ibu dapat mengadakan metode sendiri yang selaras dengan kehidupan bangsa kita.
Keenam dimensi ini perlu dilihat sebagai satu buah kesatuan yang tidak terpisahkan. Apabila satu dimensi ditiadakan, maka profil ini akan menjadi tidak bermakna. Sebagai contoh: ketika seorang pelajar perlu mengeluarkan ide yang baru dan orisinil untuk memecahkan masalah, diperlukan juga kemampuan bernalar kritis untuk melihat permasalahan yang ada. Solusi yang dihasilkan juga perlu mempertimbangkan akhlak kepada makhluk hidup lain yang dapat dimunculkan dari dimensi beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Dalam mewujudkan solusinya, ia pun perlu melibatkan orang lain dengan tetap menghargai keragaman latar belakang yang dimiliki (dimensi Gotong Royong dan Berkebinekaan Global).
Posting Komentar